Setelah ini, lalu apa? (Tanggap Cepat Mundurnya Sri Mulyani…)

Setelah ini, lalu apa? (Tanggap Cepat Mundurnya Sri Mulyani…)

---bukan bersifat ilmiah, hanya pengamatan belaka---

Jose Mourinho, pelatih tim sepakbola Inter Milan, ketika ditanya mengenai tanggal 5 Mei menjawab dengan serius, “Satu-satunya hal yang saya ingat, tanggal 5 Mei adakah hari di mana Napoleon meninggal.” (www.detik.com). Sedangkan bila kita tanyakan pada pemerhati marxisme, tanggal 5 Mei tentunya akan dikenang sebagai hari kelahiran Karl Marx, penulis Manifesto Komunis. Tokoh yang menginspirasi lahirnya gerakan komunis di seluruh dunia dengan bernagai model dan tafsirannya.

Sedangkan di Indonesia, tanggal 5 Mei 2010 adalah hari yang berisi berita yang mengejutkan dan ironis. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, menteri keuangan terbaik dunia yang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang mumpuni menyampaikan pengunduran diri dari posisi yang sangat strategis di republik ini. Tentu saja pengunduran ini dihubungkan dengan tekanan politik, khususnya dari fraksi-fraksi oposisi di DPR terhadap Sri Mulyani. Pembelaan presiden kepada Sri Mulyani atas tuduhan Pansus Century ternyata gagal memberikan situasi yang kondusif terhadap hubungan bilateral DPR-Menteri Keuangan.

Bisa jadi, inilah jalan tengah yang dipilih Sri Mulyani untuk menghindari kondisi chaotic dalam perekonomian Indonesia. Masih ingat kasus hangat terakhir saat sebagian anggota DPR memilih walk out saat pembahasan RAPBP-Perubahan 2010 yang NYATA-NYATA akan memberi keuntungan pada rakyat Indonesia. Ketika ego sektoral antara dirinya dan parlemen harus diadu, demi kepentingan yang lebih besar Sri memilih mundur dengan elegan dan memanfaatkan tawaran dari Bank Dunia.

Saya yakin betul bahwa bukan alasan Sri Mulyani untuk melarikan diri dari KPK apalagi mencari penghasilan lebih baik. Kalau untuk penghasilan atau materi, sudah dari dulu wanita asal Lampung ini mundur dari jabatannya. Jabatan yang bertekanan tinggi, agenda sangat padat, tanggung jawab masif, dan penghasilan yang tak sebanding dengan direksi bank, misalnya. Kalau ada yang bilang saya bias dalam menilai Sri Mulyani, ya saya memahami, saya memang bagian dari Kementerian Keuangan, tapi justru karena itu saya memahami betul kebijakan-kebijakan Sri Mulyani yang telah “menyulap” sebuah departemen korup menjadi kementerian yang memiliki visi terdepan dalam reformasi birokrasi, bahkan menjadi pilot project-nya.

Tapi, kita (ya, kita semua) tak bisa berlama-lama meratapi kepergian beliau per 1 Juni 2010 nanti. At last, the show must go on! Transisi dari Sri ke penggantinya kelak harus mulus sehingga tak berimbas buruk pada memburuknya kondisi makro dan mikro ekonomi di Indonesia. Untuk memastikan itu semua terjadi, maka sebuah action plan harus disusun. Bagi penulis, hal-hal dibawah ini adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan:

Pertama,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Wakil Presiden Boediono harus mengerahkan segala daya pikir dan visinya untuk segera menunjuk pengganti Sri Mulyani. Sulit memang untuk mencari yang memiliki bobot sama persis, tapi setidaknya Menteri Keuangan selanjutnya harus memenuhi minimum requirements sebagai berikut:
a. Memiliki komitmen kuat untuk melanjutkan reformasi birokrasi
b. Memiliki visi makro dan mikro ekonomi yang seimbang
c. Memiliki kemampuan dan pengetahuan moneter serta fiskal yang memadai
d. Memiliki track record yang bersih
e. Bukan berasal dari partai politik
Lima syarat di atas adalah harga mati. Mengapa? Karena setidaknya, lima hal itulah yang menjadi pondasi dasar kesuksesan Sri Mulyani dalam memimpin lebih dari 60.000 pegawai Kementerian Keuangan untuk mencapai tujuan negara. Saya pribadi cukup kesulitan untuk mencari figur yang memenuhi syarat, namun nama Darmin Nasution rasanya bisalah untuk dijadikan kandidat.

Darmin Nasution memiliki tingkat akseptibilitas yang tinggi, dari kalangan profesional nonpartisan, dan merupakan kompatriot Sri Mulyani indrawati saat masih menjabat Direktur Jenderal Pajak. Sukses mengawal reformasi birokrasi di Ditjen yang dulu dikenal “basah” itu dan kemudian diakui DPR memiliki kualitas mumpuni dalam bidang moneter sehingga menang telak dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Tegas dan cerdas. Namun, permasalahannya adalah apabila Darmin “dicomot” dari BI, apakah SBY mampu menemukan sosok sekaliber Darmin untuk menangani BI? Pertanyaan yang tentunya hanya bisa dijawab oleh panglima tertinggi negeri ini sendiri.

Kedua,
Yang paling terpukul dengan mundurnya Sri Mulyani adalah jajaran Kementerian Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Pajak yang citranya luluhlantak karena perkara Gayus Tambunan. Setelah badai century yang menimpa Sri Mulyani, kasus Gayus memang menjadi masalah berikutnya yang harus diselesaikan. Kementeria Keuangan berada dalam sorotan dan tekanan, bahkan diancam dicabut remunerasinya.

Menanggapi kasus Gayus, Sri Mulyani tetap menjadi pimpinan yang objektif. Dia dan Direktur Jenderal Pajak bahu membahu membuat berbagai terobosan untuk menyempurnakan program reformasi di Ditjen tersebut. Sebagian besar pegawai pajak yang bersih tapi mentalnya down akibat kasus ini perlahan-lahan kembali membaik. Mereka (dalam hal ini, juga saya) melihat betul bahwa Sri Mulyani menanggapi kasus ini dengan tepat: hukum penjahatnya, sempurnakan lubang sistemnya, bela yang tidak bersalah. Nah, bila penerus Sri Mulyani adalah figur yang satu visi, sehingga mampu melaksanakan hal yang sama tentunya akan memompa semangat pegawai Kementerian Keuangan untuk terus dan terus berbenah dan menuju cita-cita yang diharapkan. Tapi, jika pencabutan remunerasi misalnya, adalah langkah awal menteri berikutnya maka kondisi mental breakdown tadi akan mencapai titik nadir dan menghancurkan proses reformasi yang telah berjalan cukup baik.

Ketiga,
Kehilangan besar juga sebenarnya akan menghantui investor, bankir, calon investor dan masyarakat pada umumnya. Sri Mulyani nyata-nyata telah sukses mengendalikan perekonomian Indonesia saat menghadapi badai krisis, sehingga krisis moneter seperti yang terjadi tahun 1998 bisa dihindari. Kini, figur yang memunculkan rasa aman itu segera hengkang. Apakah kita sebagai masyarakat harus melihat lagi figur profesional digantikan dengan perwakilan partai??? Apakah kita hanya akan diam melihat figur yang benar-benar membantu perbaikan Indonesia berkarya di luar sana dibandingkan di sini, di tanahnya sendiri?

Lalu bagaimana?
Saya pribadi, mulai hari ini berjanji pada diri sendir untuk mengingat dan sebisa mungkin mencatat tokoh-tokoh yang omong besar, pencari masalah, penuduh yang mahir untuk tidak saya pilih di Pemilu legislatif mendatang. Mengapa? Karena kondisi politik yang tidak kondusif ini sebagian besar dikarenakan tindakan hiperbola para politisi pencari muka.

Lalu, mulai hari ini juga saya akan mendukung tokoh-tokoh reformis yang logis untuk menjadi pimpinan negeri ini. Baik dari tingkat RT hingga presiden. Mengapa? Karena dengan begitulah saya bisa membantu negeri ini untuk memiliki Sri Mulyani-Sri Mulyani lain baik di level grass root sampai di level tertinggi. Saya akan mencoba meneliti dahulu perilaku, track record dan kapabilitas seseorang sebelum saya memutuskan memilihnya menjadi pemimpin.

Kemudian, bagi para pegawai Kementerian Keuangan atau bahkan semua yang bersimpati pada seorang Sri Mulyani, dengarlah kata-kata lugas dari rekan kita Elma Zulkisti: “Mungkin Bu Sri memang akan pergi... tapi bukankah negeri ini masih mempunyai Anda, Anda, Anda, Anda, dan Anda... Bu Sri sudah menanam pondasi yang baik untuk negeri ini??? Hayuk atuh teruskan perjuangan Bu Sri...”

Ya, Sri Mulyani memang akan pergi..Tapi negeri ini masih punya KITA!!


5 Mei 2010
23.29
“Di tengah Jakarta, Pusat berita dan cerita”
“Lebih baik berjuang darpada menyerah pada stagnasi..”

Bobby Savero
Alumnus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara,
Saat ini merupakan staf pada Kementeraian Keuangan

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS